Khalifah dan Tenda di Batas Kota

Oleh : Dean Al-Gamereau

Suatu malam, Khalifah Umar keluar masuk kampung, dan sampailah di batas kota. Ada sebuah tenda yang baru saja dilihatnya. Tenda didekati, di dalamnya ternyata ada sepasang suami istri yang tampak sedang susah. Terdengar istrinya menangis. Suaminya bingung sekali. Khalifah Umar masuk ke tenda, dan berbicara  kepada suaminya. Jawabnya, “Baru saja saya tiba di sini. Saya bingung. Istri saya mau melahirkan”.

Bacaan Lainnya

Suatu malam, Khalifah Umar keluar masuk kampung, dan sampailah di batas kota. Ada sebuah tenda yang baru saja dilihatnya. Tenda didekati, di dalamnya ternyata ada sepasang suami istri yang tampak sedang susah. Terdengar istrinya menangis. Suaminya bingung sekali. Khalifah Umar masuk ke tenda, dan berbicara kepada suaminya. Jawabnya, “Baru saja saya tiba di sini. Saya bingung. Istri saya mau melahirkan”.

Khalifah Umar segera pulang, lalu mengajak istrinya, Ummu Kulsum, menuju tenda untuk menolong persalinan. Tiba di tenda, Ummu Kulsum menolong persalinannya. Khalifah Umar sibuk membuat makanan, di luar tenda, dan dibantu oleh suami perempuan yang sedang ditolong persalinannya itu.
Tidak lama kemudian, terdengar tangis bayi dari dalam tenda. Ummu Kulsum keluar membawa bayi, lalu memperlihatkannya kepada Khalifah Umar. “Sudah selamat, Amirul Mukminin! Bayinya sehat, cakep pula,” kata Ummu Kulsum.

Ketika mendengar nama amirul mukminin, sang suami yang sedari tadi membantu membuat makanan itu, tiba-tiba gemetar, terkejut, dan sangat takut, lalu bersimpuh di kaki Khalifah Umar. “Sudahlah, Anda jangan begitu! Ini kewajiban saya sebagai khalifah,” katanya.

Khalifah Umar dan istrinya meninggalkan tenda di batas kota itu, diiringi rasa bahagia sudah menolong orang lain. Khalifah Umar “menjemput bola”, bukan “menunggu bola”, atau menunggu laporan bawahan. Ketika rakyat susah, pemimpin pun hakikatnya akan diminta pertanggungjawabannya.

Kita sering sekali menyaksikan calon pemimpin keluar masuk kampung, bertemu dan bercanda dengan rakyat, dalam suasana yang hangat dan menyenangkan. Bukan saja datang langsung kepada rakyat, berbicara kepada rakyat dan berbicara dengan rakyat, juga sosok mereka bisa kita saksikan pada spanduk atau baliho, juga pada stiker. Semua sangat menarik, dan punya daya tarik.

Salahkah mereka? Justru mereka merasa wajib bertamu dan bertemu dengan rakyat pemilih. Ini memang saatnya untuk kampanye. Mereka pun rajin tersenyum, berusaha menarik simpatik – dan memang wajar untuk calon pemimpin yang sedang berusaha menarik simpatik. Semua disapa dan ditanya.

Untuk perolehan suara, baik di kota maupun di kampung, akan sama saja : satu kepala satu suara. Suara sah seorang profesor akan sama nilainya dengan suara sah seorang pemulung.

Kebiasaan bertamu dan bertemu dengan rakyat, adalah kebiasaan Umar bin Khattab ketika jadi khalifah. Tak diketahui sebelumnya, apakah Umar bin Khattab suka keluar masuk kampung atau tidak ketika masih hanya seorang Umar bin Khattab.

Satu hal. Khalifah Umar, kalau keluar masuk kampung, tak pernah dikawal secara khusus, seperti lazimnya para pemimpin zaman sekarang. Lelaki yang ada di tenda di batas kota itu, baru tahu bahwa orang yang ada di hadapannya itu khalifah, karena memang tanpa pengawal. Kita memetik pelajaran dari tenda di batas kota : Khalifah Umar tak punya batas dengan rakyatnya. Dekat dengan rakyatnya. Pemimpin seperti ini yang dirindukan umat. ***

Pos terkait