Oleh: Dean Al-Gamereau
Ada yang prihatin melihat kehidupan Umar bin Khattab. Sejak dipercayai menjadi khalifah, praktis pekerjaannya sebagai padagang ditinggalkan. Untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, orang yang menggantikan Khalifah Abu Bakar itu hanya memperoleh gaji dari Baytu ‘l-Maal (kas negara) yang boleh jadi lebih kecil dari penghasilan berdagang.
Maka, tiga orang sahabat, terdiri dari Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, dan Talhah berembuk. Mereka bersepakat, gaji Khalifah Umar perlu dinaikkan agar kehidupan Khalifah Umar lebih pantas. Tetapi, dari ketiga orang sahabat itu, tak seorang pun yang berani menyampaikan hasil kesepakatan itu kepada Khalifah Umar.
Untuk kedua kalinya, mereka berembuk lagi mencari orang yang tepat untuk menyampaikan usulan kenaikan gaji itu. Maka, disepakatilah Ummu ‘l-Mu’miniin Hafsah (salah seorang anak Khalifah Umar) yang ditugasi menyampaikan usulan ketiga sahabat tersebut. Kepada Hafsah, ketiga sahabat pengusul itu meminta – dengan amat sangat – agar merahasiakan nama-nama mereka sebagai pengusul kenaikan gaji.
Berbahagiakah Khalifah Umar setelah mendengar usulan yang disampaikan anaknya itu? Malah, Khalifah Umar berang, dan langsung berteriak, “Itu, usul gila, Nak!”.
Hafsah tertunduk, takut, dan tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. “Kalau saya tahu orang-orang yang mengusulkan kenaikan gaji itu, tak akan saya beri maaf, dan akan saya dera mereka!” teriak Khalifah Umar. Hafsah bersiteguh memegang amanat, alias menyembunyikan sumber berita, tak mau menyebutkan nama-nama pengusul kenaikan gaji itu.
“Dengarlah, Nak! Dulu, sandang, pangan, dan papan suamimu (Nabi Muhammad S.A.W.), apakah lebih baik dari yang aku miliki sekarang ini?” desak tanya Khalifah Umar kepada anaknya itu. ”Memang, yang dimiliki Ayah, jauh lebih baik,” jawab Hafsah. “Oleh karena itu, sampaikan kepada orang-orang yang telah mengusulkan kenaikan gaji tadi, bahwa Nabi Muhammad S.A.W. telah memberi contoh yang sangat sederhana, dan Umar tak sanggup melangkahi kesederhanaannya itu”. (*)