Koalisi

Dian Wahyudi
Ketua Generasi Muda (GEMA) Keadilan Lebak

Ahh… Sekali lagi kita membahas tentang sakit gigi, walaupun memang membahas sakit gigi sepertinya tidak akan ada habisnya, karena sakit gigi ataupun sakit yang lain, apapun merupakan fitrah manusia, bahkan dapat berbuah pahala jika bersabar, namun serasa siksa jika salah dalam mensikapinya.

Bacaan Lainnya

Ditambah, urusan sakit gigi sebenarnya urusan pribadi, saat kita sedang mengalami masalah dengan gigi tentunya (hihi), biasanya karena gigi berlubang, gusi bengkak, ataupun tumbuh gigi bungsu.

Tapi efek sakit gigi, bisa menyebabkan urusan bersama. Menghadiri acara resmi jadi batal gegara sakit gigi, suami, istri jadi sasaran uring-uringan hanya karena telat respon ketika dimintai tolong, atau anak balita yang sedang menangis, usahakan jangan dekat-dekat orang yang sedang sakit gigi, bisa berabe. Makan tak enak, tidur tak nyenyak (banyak nyamuk, ups).

Itu tadi, walaupun ada pula yang merasa lebih baik sakit gigi daripada sakit hati, seperti dalam lagu Haji Megy Z. Duh, aya-aya wae… Apapun, pasti ada hikmah. Kita bisa ber Muhasabah Cinta kata Edcoustic, banyak berzikir, sehingga sakit berbuah pahala.

Mengobati sakit gigi juga unik, tidak bisa mendapatkan tindakan seperti tambal gigi yang berlubang atau dicabut gigi yang bermasalah sebelum sakit nya hilang. Biasanya diberikan dulu obat penghilang nyeri dan obat agar tidak mengalami infeksi. Dan, luar biasanya pasien sakit gigi, biasanya lupa datang lagi ke Dokter Gigi setelah sakitnya hilang, seolah gak kenal sama dokternya, haha.. (pengalaman pribadi ini mah).

Ibarat hutang kepada seseorang, ada sebagian orang, kerap lupa membayar setelah dibantu keluar dari masalah, bahkan saat di tagih bisa-bisanya lebih nyolot daripada yang memberi hutang. Pernak-pernik kehidupan kadang misteri, kita tidak tau bagaimana orang bersikap terhadap sesama, apalagi urusan melupakan, dicuekin kabarnya lebih tidak disukai daripada sakit gigi. Hihi

Urusan melupakan atau dilupakan, kadang juga berujung runyam, terutama para pemimpin yang diraih dari proses pemilihan, semisal Pemilihan Kepala Daerah baik Kabupaten ataupun Provinsi, Pemilihan Perwakilan bahkan pemilihan Kepala Negara.

Kita kerap mendengar istilah lugas : Teu Siga Keur Hayangna. Siapapun berhati-hatilah, terutama para pemimpin, sudah mah lupa, upayakan jangan menyakiti rakyat dengan berbagai program yang mempersulit mereka. Jika terjadi, siap-siap saja rakyat berbalik dukungan, syukur-syukur tidak di do’akan buruk.

Menariknya, dalam waktu dekat ini , hari-hari ini, pemilihan kepala daerah (pilkada) mulai ramai kembali di bicarakan, dengan dinamika dan pernak-pernik pro dan kontra berbagai hal terkait pilkada. Dan yang deras mengemuka menjadi pembicaraan, utamanya adalah isu Dinasti dalam pilkada. Termasuk urusan partai politik (parpol) dalam hal takaran alias hitung-hitungan ber-Koalisi dengan partai mana yang sesuai.

Dalam hal ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kabupaten Lebak, berdasarkan hasil perolehan suara dan kursi pada pemilihan umum (pemilu) 2019, PKS memiliki 5 kursi di DPRD Lebak. Jika mengacu kepada aturan syarat ambang batas pencalonan kepala daerah dalam Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) terkait syarat ambang batas pencalonan kepala daerah, dengan sedikitnya 20 persen jumlah kursi DPRD atau 15 persen akumulasi suara sah pemilihan anggota DPRD, tentunya masih kurang.

Selengkapnya Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan, “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.”

Diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lebak menetapkan daftar perolehan kursi Parpol dan Calon Legislatif (Caleg) terpilih pada Pileg 2019, Partai Gerindra dengan perolehan kursi terbanyak yakni 9 kursi, disusul oleh Demokrat 7 kursi, PDIP 7 kursi, Golkar 6 kursi, PKB 6 kursi, Nasdem 5 kursi, PKS 5 kursi, PPP 4 kursi dan Perindo 1 kursi, sehingga totalnya 50 kursi Anggota DPRD Lebak.

Walaupun parpol berharap agar syarat ambang batas ini dihilangkan, namun sampai saat ini masih belum dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab persyaratan pilkada yang diatur Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada tersebut memaksa partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi syarat untuk bergabung (koalisi) agar dapat mengusulkan calon kepala daerah.

Calon kepala daerah dan wakilnya ialah nama yang diusung partai politik yang memiliki perolehan jumlah kursi di DPRD atau memiliki akumulasi perolehan suara terbanyak diantara partai-partai yang tergabung dalam koalisi. Sementara, terhadap partai politik yang perolehan kursi atau akumulasi suaranya kecil, tidak akan mungkin dapat mencalonkan kader terbaik dari partainya. Padahal, setiap partai politik memiliki calonnya masing-masing sesuai agenda dan cita-cita partainya yang dianggap pantas untuk menjadi seorang pemimpin kepala daerah.

Sehingga, jika kembali merujuk kepada aturan syarat ambang batas pencalonan kepala daerah dalam Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016, praktis tidak ada parpol di kabupaten Lebak yang dapat mengusung sendiri calon kepala daerah.

Dan, seperti pada tulisan saya sebelumnya, ber-sinergi alias ber-koalisi dengan siapa saja dalam pilkada terbuka lebar, karena menjalin silaturrahim tidak dibatasi ruang dan waktu apalagi parpol. Menyamakan visi misi dan persepsi, sejak jauh hari, tidak ada salahnya menjalin komunikasi dengan berbagai Parpol dan Stakeholder. Karena dengan komunikasi, akan terjalin saling mengenal dan memahami segala potensi, termasuk aktivitas silaturrahim kebangsaan yang dibangun oleh PKS Lebak belakangan ini perlu kita apresiasi positif, karena telah memulai tradisi baru dalam mencairkan ketegangan politik hari-hari ini. Jikapun ada yang mengkritisi, bahwa PKS sedang menaikan nilai tawar jelang pilkada sekalipun, ya terima saja sebagai masukan menyegarkan, ibarat olahan es Haji Muin di siang hari, hehe. Karena masukan, kritikan atau apapun namanya, akan terus bermanfaat jika senantiasa disikapi positif.

Yang menjadi aneh, dalam setiap perhelatan pilkada adalah, jika ada yang bersuara dan mengkritik keras kepada PKS, padahal nyoblos henteu alias memilih PKS pun tidak di setiap pemilu, tapi sok ngatur-ngatur arah koalisi PKS mau kemana. Eh…ampuuun ka.

Sekali lagi, perlu diingat, dalam teori usungan calon dalam Pilkada saat ini, dengan metodologi survei, dan lain-lain, dukungan kepada bakal calon sebenarnya sudah dapat diraba, tinggal bagaimana masyarakat, meraba hati dan menguji konsep dan program para tokoh yang saat ini telah mulai bermunculan. Parpol dan Tokoh yang dapat mendengar dan membaca Persepsi Publik Dialah Sang Terpilih, bukan hanya semata karena kekuatan finansial.

Untuk yang sedang gaspoll membangun koalisi, terus saja menjajaki kemungkinan, tidak perlu berkecil hati, ulah ka gamah (jangan terganggu). Kalau meminjam kalimat Brigita Meliala @idgitaf, Bahwa hal indah butuh waktu untuk datang.

Semua berbuah, manis ataupun pahit, urang kudu ngaragap diri, introspeksi. Kata Ebit G. Ade : Mumpung Masih Diberi Waktu.

Pos terkait