KORANBANTEN.com – Mayoritas pelajar Indonesia sebenarnya punya kemampuan cukup untuk mengikuti perkuliahan berstandar internasional. Di Belanda, misalnya, mahasiswa asal Indonesia disebut jarang mengalami kesulitan berarti ketika menempuh studi.
“Mereka (mahasiswa Indonesia di Belanda) mungkin bukan juara kelas, tapi mereka selalu lulus ujian dan belajar cukup keras,” kata Direktur Nuffic Neso Indonesia, Mervin Bakker, dalam wawancara khusus di sela pameran pendidikan Dutch Placement Day 2016 di Erasmus Huis, Jakarta, Jumat (4/11/2016).
Bakker mengaku mendapatkan informasi tersebut dari salah satu universitas di Amsterdam, Belanda, yang memiliki cukup banyak mahasiswa asal Indonesia.
Dia menambahkan, keberhasilan itu antara lain ditengarai karena para mahasiswa tak mengalami masalah psikologis yang serius di sana. Mereka mampu beradaptasi dengan lingkungan kampus.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kuliah di luar negeri sudah sewajarnya penuh tantangan, lingkungannya pun serba baru,” ucap Bakker tentang kemungkinan mahasiswa Indonesia merasa kurang percaya diri untuk belajar di luar negeri.
Menurut dia, perasaan kurang nyaman normal dialami orang yang datang ke tempat asing atau istilahnya “keluar dari zona aman”.
“Saya juga sempat merasakan hal sama waktu pertama kali datang ke Indonesia untuk bekerja,” kata Bakker.
Motivasi
Bakker menyarankan, pelajar Indonesia yang berniat melanjutkan studi ke Belanda harus punya motivasi cukup kuat. Menurut dia, hal ini akan menjadi salah satu faktor penting yang membuat mereka mampu merampungkan studi di luar negeri.
“Di luar negeri nanti kan mereka (mahasiswa) harus belajar keras, mungkin mereka juga akan merasa kesepian. Mengingat kembali motivasi awal akan membuat mereka kuat,” jelas Bakker.
Bentuk motivasi bisa jadi berbeda-beda pula bagi tiap orang. Chris, contohnya. Alumnus University of Amsterdam (UvA) ini mengaku, cita-cita kuliah ke luar negeri mendorongnya untuk terus berusaha.
Impian itu sempat ditentang orangtuanya. Namun, Chris membuktikan diri dengan menyelesaikan program sarjana bidang ekonomi tepat waktu, dari 2011 sampai 2015, lewat jalur “win-win solution” bagi dirinya dan orangtuanya.
“Orangtua ingin saya kuliah di universitas negeri di Indonesia. Jadilah saya mengambil program double degree di Universitas Indonesia sebagai jalan tengah,” kata Chris yang hadir dalam acara sama sebagai salah satu perwakilan dari UvA.
Pada program ganda, perkuliahan tingkat sarjana dilakukan masing-masing dua tahun di universitas yang menjalankan kerja sama pendidikan itu. Dalam kasus Chris, studi dijalani dulu selama dua tahun di UI, lalu dia berangkat ke UvA untuk merampungkan dua tahun berikutnya kuliah di sana. Ketika lulus, dia mendapat dua gelar, yaitu dari UI dan UvA.
Setelah lulus pendidikan S1, Chris langsung melanjutkan studi S2 di UvA. Dia pun berhasil lulus dalam waktu satu tahun.
“Saya juga berniat balik lagi ke Belanda untuk bekerja di sana,” kata Chris.
Beragam motivasi untuk melanjutkan studi ke Belanda terlontar dari pengunjung pameran pendidikan Dutch Placement Day 2016. Mirip dengan Chris, beberapa di antara mereka mengaku ingin mengecap pengalaman kuliah ke luar negeri.
“Sekalian juga pengin belajar kultur di sana (Belanda),” ucap Silvi, salah satu pengunjung, saat ditemui Kompas.com di sela aktivitasnya berkeliling mencari informasi dari perguruan tinggi di pameran tersebut.
Bertutur sambil menggenggam banyak brosur, dia mengaku datang ke pameran untuk mencari informasi terkait program master bidang psikologi yang diminatinya. Silvi juga mengatakan tak datang sendirian, tetapi bersama teman karibnya, Natasha.
“Kalau saya memang ingin kuliah di Eropa. Sudah dapat beasiswanya, tinggal mencari universitas saja. Datang ke sini karena mau cari tahu dulu kecocokan jurusan, biaya, intake (jadwal masuk kuliah). (Hal-hal) ini kan penting (diketahui),” ujar Natasha.
Lewat pameran tersebut, Bakker berharap para pelajar yang datang berkunjung mendapatkan gambaran nyata tentang perkuliahan di Belanda. Banyak informasi lebih baik didapat dari pihak perguruan tinggi secara langsung, seperti tingkat kemungkinan diterima kuliah atau alternatif pendanaan studi.
“Para perwakilan universitas akan mengecek latar belakang pendidikan mereka (pengunjung) lalu memberikan masukan-masukan secara langsung tentang mungkin atau tidaknya mereka diterima di universitas tersebut,” jelas Bakker.
Nah, daripada merasa galau dengan kemampuan diri, lebih baik mencari informasi pasti mengenai kecocokan studi sebelum kuliah ke Belanda. Seperti kata Bakker, kuliah di luar negeri bukan hal mustahil, meski tantangan pun pasti ada. Semangat! @DF