(Bagian Kedua dari Empat Tulisan)
Oleh
Dean Al-Gamereau
Salah Kaprah Figur Publik
Betulkah artis, pesohor, atau kaum selebritas itu sama dengan figur publik? Kenyataan kini, memang, makna figur publik diperlebar, diperluas, sehingga diterapkan pula kepada artis, pesohor, atau kaum selebritas, meski mereka sama sekali tak punya kaitan dengan keputusan yang berhubungan dengan kepentingan publik.
Direktur Institute for Media and Social Studies (IMSS), Jakarta, Veven SP Wardhana menyebut penyamaan artis, pesohor, atau kaum selebritas dengan figur publik oleh kalangan tertentu karena ketidakpahaman epistemologis atas figur publik itu sendiri (Kompas, 11/09/2005). Akhirnya, memang, penerapan figur publik jadi sangat luas. Pengertian figur publik jadi salah kaprah.
Pakar ilmu komunikasi, Dr. Effendi Gazali, menyebut kata publik dalam ranah ilmu komunikasi mengacu pada kepentingan publik. Kata Effendi Gazali pula, kepentingan publik berkaitan dengan urusan dan kebijakan publik dalam proses sebelum dan sesudahnya.
Dengan demikian, pemahaman publik menurut disiplin ilmu komunikasi di satu pihak dan pemahaman publik versi jurnalisme infotainment di pihak lain, ternyata berbeda. Effendi Gazali menerima jurnalisme infotainment dalam kadar tertentu dengan tujuan menghibur. (Kompas, 11/09/2005). Salah satu fungsi pers memang menghibur. Soal publik, pada acara “Konvensi Nasional Media Massa” di Pekanbaru, 9 Februari 2005 lalu, Effendi Gazali mengutip Grunig & Hunt (1984). Katanya, ada tiga macam publik, yakni latent public, aware public, dan active public.
Check and Recheck
Rasulullah S.A.W. menugasi Al-Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat Al-Haris bin Dlirar Al-Khuzaa’iy, seorang tokoh Bani Mushthaliq. Ketika sampai di tengah perjalanan, Al-Walid merasa takut setelah melihat orang-orang. Al-Haris. Al-Walid mengira mereka akan membunuhnya.
Al-Walid pulang, lalu melapor kepada Rasulullah S.A.W. “Sesunguhnya, Al-Haris menolak membayar zakat, bahkan mau membunuh saya,” lapor Al-Walid kepada Rasulullah S.A.W.
Seketika itu juga, Rasulullah S.A.W. mengutus sejumlah sahabatnya untuk menjumpai Al-Haris. Bertemulah utusan Rasulullah S.A.W. ini dengan Al-Haris. “Anda Al-Haris?” tanya utusan Rasulullah S.A.W. itu. “Benar! Anda mau menemui siapa?” tanya Al-Haris. “Mau menemui Anda,” jawab utusan Rasulullah S.A.W. “Ada apa?” tanya Al-Haris. “Begini. Rasulullah S.A.W, mengutus Al-Walid bin Uqbah kepada Anda untuk mengambil zakat. Tetapi, pengakuan Al-Walid, Anda menolak membayar zakat, malah mau membunuhnya,” kata utusan Rasulullah S.A.W. “Tidak! Demi yang mengutus Muhammad dengan hak, saya tak pernah melihatnya, tak pernah pula dia datang kepada saya,” jawab Al-Haris.
Al-Haris bertemu dengan Rasulullah S.A.W. Seketika itu juga, Rasulullah S.A.W. menegurnya. “Kaumenahan zakat dan mau membunuh utusanku?” kata Rasulullah S.A.W. “Tidak! Demi yang mengutusmu dengan hak. Saya tak pernah melihatnya, dan tak pernah pula dia datang kepada saya,” jawab Al-Haris.
Tak lama, turunlah ayat 6, surat Al-Hujuraat. “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Berita itu karya jurnalistik. Agar dipercaya, wartawan harus melakukan check and recheck sebelumnya. Tanpa check and recheck yang benar, wartawan bisa tersandung, wartawan siapa pun.
Soal check and recheck, disebutkan benar dalam KEJ PWI, dengan bahasa meneliti kebenaran bahan berita. “Wartawan meneliti kebenaran bahan berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita”. (Pasal 11, Bab III, KEJ PWI).
Kode etik jurnalistik yang ditetapkan melalui peraturan Dewan Pers tahun 2008, atau kode etik jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pun sama : mengajarkan dan mewajibkan check and recheck. Wartawan profesional akan selalu menutup celah hak jawab dengan menulis berita yang tepat dan akurat.
Jurnalisme Damai
Jurnalisme Al-Hujuraat mengajarkan ishlah (damai). Ayatnya berbunyi, “Apabila dua kelompok dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya (ayat 9). Perintah berdamai/mendamaikan, sampai tiga kali di sebut di sini (dua kali pada ayat 9 dan sekali pada ayat 10), dengan kalimat fa-ashlihuu, artinya, damaikanlah! Kalau ishlah, artinya damai atau perdamaian. Dari ayat ini pula bisa lahir jurnalisme damai.
Wartawan jurnalisme damai tak boleh memanas-manasi dua orang atau dua kelompok yang sedang berseteru, yang sedang tak harmonis, yang sedang berperang, melainkan justru wartawan harus memainkan peran jurnalisme damai.
.
Soal jurnalisme damai, Bakhtiar Aly, ketika menyampaikan pidato pengukuhan jadi guru besar tetap di bidang ilmu komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Uinversitas Indonesia, menyebut peran media, Dewan Pers, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjadi sangat sentral dalam resolusi konflik mencari perdamaian.
“Suatu kesadaran kolektif yang jauh dari kegersangan nurani tampaknya sangat strategis bila dihampiri dengan jurnalisme damai,” kata Bakhtiar Aly, dalam pidato pengukuhan guru besar tetapnya itu.
“Pada hakikatanya, jurnalisme damai terikat dengan pilihan reportase yang harus dipertanggungjawabkan wartawan yang bersangkutan, sensasional berita juga mesti diimbangi dengan alternatif positif untuk rekonsiliasi,” kata Bakhtiar Aly pula.
Dalam pidatonya yang berjudul “Mencari Dimensi Kebebasan Pers dalam Resolusi Konflik dengan Mengedepankan Jurnalisme Damai”, Bakhtiar Aly menyebut aktor penentu pentingnya suatu rekonsiliasi ada di pundak jurnalis (wartawan). Tanggung jawab jurnalis, kata Bakhtiat Aly lagi, bukan sekadar pada pembacanya, melainkan pada kesadaran kepentingan umum dan kemaslahatan masyarakat.
Bagian penting pidatonya yang lain, sekaitan dengan jurnalisme damai, Bakhtiar Aly mengingatkan bahwa media yang cerdas tidak serta merta memuat pernyataan dalam bahasa yang vulgar.(Kompas, 08/09/2005).(Bersambung ke bagian ketiga).