Di Provinsi Banten sendiri, standarisasi IPAL, masih sulit dipenuhi oleh setiap Rumah Sakit yang ada. Rumah sakit di Provinsi Banten rata-rata telah memiliki IPAL. Hanya tinggal dari sisi kinerja dan pengelolaanya saja yang perlu terus ditingkatkan.
Koranbanten.com – Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) merupakan sebuah struktur yang dirancang untuk membuang limbah biologis dan kimiawi dari air sehingga memungkinkan air tersebut untuk digunakan pada aktivitas yang lain. IPAL merupakan salah satu fasilitas utama yang harus ada dan beroperasi dengan baik dengan efesiensi pengolahan yang harus baik pula.
Sedikit mengulas tentang IPAL, khususnya bagi sebuah rumah sakit, dapat dilihat dari Regulasi atau peraturan yang ada, yang diantaranya adalah Undang-undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No.82/2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, UU 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit yaitu pada bagian ke empat pasal 11, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 58 Th 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit, Permenkes RI NOMOR 340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, PP 18/1999 Tentang : Pengelolaan Limbah B3 dimana pada Pasal 3 berbunyi “Setiap orang yang melakukan usaha dan/ atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang limbah yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan hidup tanpa pengelolaan terlebih dahulu”.
Di Provinsi Banten sendiri, standarisasi IPAL, masih sulit dipenuhi oleh setiap Rumah Sakit yang ada. Menurut Pelaksana Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Banten, Mafaz Setyawan, dari hasil pemantauan dan evaluasi selama beberapa tahun, hasil rekapitulasi mulai dari dokumen lingkungan, pengelolaan air, pengelolaan udara, pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) menunjukan ada beberapa parameter yang susah dipenuhi oleh Rumah Sakit yaitu parameter NH3 (amonia) PO4 (fosfat).
“Sampai akhirnya diterbitkan kebijakan dari kementerian, untuk PROPER khusus rumah sakit barometer amonia dan fosfat itu tidak masuk ke dalam kriteria walaupun kadarnya melebihi. Karena untuk mencapainya sulit,” jelas Mafaz.
Mafaz menjelaskan, jika parameter amonia tingkat dunia semakin besar, maka baku mutunya naik. Oleh sebab itu, harus ada antisipasi ketika ada pasien bertambah. Sedangkan parameter fosfat cenderung sama dengan pertambahan pasien. “Oleh karena itu, Kementrian memaklumi dan sudah tidak memasukan amonia dan fosfat lagi dalam kriteria,” terang Mafaz.
Ia mengungkapkan, Rumah sakit di Provinsi Banten rata-rata telah memiliki IPAL. Hanya tinggal dari sisi kinerja dan pengelolaanya saja yang perlu terus ditingkatkan.
Oleh sebab itu, pihaknya terus melakukan pengawasan, pembinaan, kepada setiap rumah sakit yang ada di Provinsi Banten. “Dari hasil pengawasan yang kita lakukan, nanti akan kita undang rumah sakit itu untuk membahas hasil evaluasi pengawasan dan bagaimana tindakan perbaikannya,” jelas Mafaz.
Sementara itu, Kepala IPAL dan Sanitasi RSUD Banten, Awaludin Nugraha menerangkan, dalam hal pelayanan serta dalam segi IPAL dan Sanitasi di RSUD Banten, masih terus berbenah diri. “Kami terus belajar agar lebih baik dan sesuai dengan ketentuan,” katanya.
Namun demikian menurut Awaludin, untuk pembuangan limbah, RSUD Banten telah bekerja sama dengan PT. Wastec Internasional. Limbah-limbah tersebut dikumpulkan dalam Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang sudah memenuhi standarisasi. “Menurut Kementerian Lingkungan Hidup pada saat kunjungan ke RSUD Banten, TPS Limbah B3 tersebut dijelaskan dapat dijadikan contoh untuk yang lain, karena sudah sesuai aturan dan yang paling memenuhi syarat,” ujar Awaludin.
“Sementara untuk pengolahan limbah cair, RSUD Banten menggunakan fisik, biologi, dan kimia. Tetapi sebelum pada proses IPAL tersebut, limbah telah melalui treatment terlebih dahulu,” sambungnya.
Senada dikatakan Madsubli Kusmana selaku Wakil Direktur Penunjang RSUD Banten, dalam pengelolaan lingkungan, RSUD Banten pun mengikuti aturan dan selalu membuat Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) untuk laporan per semester. “Kita masih dalam proses pembinaan, belum merasa bagus dan kita akan tetap mengikuti standar agar tetap aman buat lingkungan masyarakat,” ujarnya.
“Ke depan dengan perkembangan rumah sakit ini pun kita akan terus sesuaikan dengan ketentuan Lingkungan Hidup. Ketika air mengalir sudah tidak tercemar dan sesuai dengan baku mutu yang ada,” tambahnya.
Sementara itu, Kustaman selaku Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan BLHD Kabupaten Serang menjelaskan, bahwa IPAL RSUD Serang, tidak dibuat sendiri, tetapi mendapatkan bantuan dari Austria. “Sebetulnya IPAL itu sudah canggih, hanya tinggal bagaimana cara mengoperasikannya dengan baik, kemudian memelihara dan merawat,” paparnya.
Kustaman berharap, Rumah sakit menjadi contoh untuk yang lain dan industri. “Jadi tauladan dan dapat meningkatkan fungsi rumah sakit jauh lebih baik dengan mengedepankan rumah sakit yang ramah lingkungan,” tutupnya.
Sementara itu, Kepala BLHD Kota Serang, Hafidi, ketika ditemui diruang kerjanya mengatakan, saat ini di Kota Serang belum terindikasi adanya pencemaran yang mengakibatkan kerusakan lingkungan baik dari Limbah Rumah Sakit, Rumah industri, dan Hotel.
“Hotel-hotel yang ada di Kota Serang seperti Le Dian, Hotel Ratu itu ada skala pengawasannya. Jadi pengawasannya tidak menunggu adanya pengajuan tapi ada jadwal yang sudah kita buat, serta ada tim dari pengawas yang terdiri baik secara internal maupun dari dinas teknis yang terkait,” jelas Hafidi, Rabu, (13/01/2015).
Ia menambahkan, saat ini belum ditemukan adanya penyimpangan yang berarti. “Tetapi tidak berarti hal itu tidak kita awasi. Kita terus lakukan pengawasan dan pemantauan,” ucapnya.
Oleh sebab itu, pihaknya meminta agar masyarakat berperan aktif. “Kalau ada pencemaran limbah dan sesuatu yang merusak lingkungan, segeralah melakukan pengaduan kepada kami (BLHD Kota Serang-Red),” tegas Hafidi.(nurhasanah/aang/badrudin/adril).