Perempuan, Sexual Consent, dan Pendidikan Islam

Oleh : Dr. Ela Hodijah Noor, M.Pd.I.

Apakah sexual consent itu? Secara etimologis, artinya, persetujuan melakukan aktivitas seksual (suka sama suka). Aktivitas hubungan seksual tanpa persetujuan dianggap perkosaan. A. Melanie Beres (2007) dan James A. Roffe (2015) menyebut begitu (2015). Hal yang sama dikatakan pula oleh Jed Rubenfeld, seorang profesr hukum dari Yale Law School, bahwa aktivitas seksual tanpa persetujuan adalah perkosaan.

Bacaan Lainnya

Salah sebuah universitas di Jakarta, pernah pada saat kegiatan pengenalan kampus kepada mahasiswa baru, mensosialisasikan materi Pendidikan sexual consent. Kejadian tersebut menimbulkan banyak perhatian dan kekhawatiran dari berbagai aktivis yang peduli terhadap pertumbuhan dan perkembangan keagamaan generasi Islam.

Isu sexual consent berkembang dan menjadi pembicaraan yang menarik untuk dikaji oleh berbagai kalangan. Ormas Islam, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan komunitas, lainnya termasuk Persatuan Islam Istri (PERSISTRI), salah satu badan otonom jamiyah Persatuan Islam (PERSIS), ikut mengkaji sexual consent itu. Kajian PERSISTRI, tentu dari perspektif Islam

Perilaku Sex Consent

Mengapa sexual consent harus segera dibahas? Secara global, sexual consent lahir di kalangan masyarakat yang menganggap aktivitas seksual tidak terkait dengan moralitas apalagi agama. Core value dari sebuah kebenaran yang mereka anut hanya sebatas pada hal yang bersifat dapat teramati (observable) dan bersifat pragmatis, liberal.

Mereka memandang bahwa my body is mine dan seksualitas sebagai HAK dan bukan sebagai KEWAJIBAN (perspektif rumah tangga Islam). Tujuan seksual adalah PLEASURE/ RECREATION bukan IBADAH. Oleh karenanya, tidaklah heran banyak aktivitas seksual dapat dilakukan atas dasar suka sama suka dan persetujuan para pelakunya sehingga banyak di kalangan mereka sangat bebas mengekspresikan hasrat seks demi kesenangan semata.

Arti consent dalam aktivitas seksual adalah persetujuan. Persetujuan dalam keadaan bebas secara sadar dan tanpa paksaan untuk melakukan aktivitas seksual walaupun melanggar norma, moral, adat dan kebudayaan. Kebebasan adalah consent atau persetujuan, dan kontrol adalah violence atau kekerasan. Maka, sexual consent lahir sebagaimana para penggagas sebutkan sebagai antisipasi dan upaya menimimalisasikan kekerasan seksual seperti perkosaan, pelecehan, dan penyimpangan seksual. Sebuah niat dan upaya yang baik.

Rancangan Pertama Tahun 2016

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) pada rancangan pertama tahun 2016,“Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghinakan, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya, terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan “persetujuan dalam keadaaan bebas” (ditandai dan ditulis oleh penulis), karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi, gender, yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan atau politik.”

Konsep “persetujuan dalam keadaan bebas” inilah yang juga dimaksudkan sexual consent! Sasaran pengagas dalam draft RUU itu, hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah berumah tangga.

Beberapa Catatan tentang RUU P-KS

Bagaimana pula sikap berbagai kalangan tentang seksual berbasis consent? Jelas, ada yang pro (setuju), kontra (tidak setuju), dan sama sekali tak mengambil sikap. Tetapi, inilah sikap penulis terhadap draft RUU P-KS tahun 2016 itu. Dalam sebuah wacana, wajar terjadinya perbedana pendapat. Sah sebagai ekspresi freedom of opinion.

Pertama, kejanggalan alasan pengagas bahwa sexual consent dimaksudkan untuk mencegah dan meminimalisasikan kekerasan seksual seperti pemerkosaan. Menurut mereka yang pro, bahwa sexsual consent adalah solusi yang terbaik. Penulis bertanya, “Benarkah sexual consent itu solusi terbaik?”. Pertanyaan penulis pula, “Apakah sexual consent akan memancing atau menimbulkan atau kemaksiatan dan kejahatan seksual yang semakin merajalela?”

Kedua. sexual consent jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Tuntutan hak dan pemenuhan kewajiban seksual haruslah melalui ikatan pernikahan. Istri ikhlas menerima keinginan suami untuk diajak berhubungan intim. (Al-Baqarah : 223). Laki-laki (suami) adalah pemimpin untuk persempuan (istrinya) (An-Nisaa : 34)
Tetapi, ada saatnya istri boleh, bahkan harus menolak diajak berhubungan intim (oleh suami), misalnya, ketika istri sedang haid. Istri, dalam hal ini, harus mengedepankan Al-Qur’an. Haram berhubungan intim saat istri sedang haid, seperti kata para ulama (Al-Baqarah : 222).

Ketiga. Pendidikan seks perspektif Islam sangat berbeda dengan konsep pendidikan sexual concent perspektif draft RUU P-KS 2016. Umat Islam mendasarkan soal hubungan seks pada ketentuan Allah SWT dan rasul-Nya. Pendidikan seksnya pun, otomatis, berdasarkan firman-Nya dan sabdanya. Ada hukuman untuk orang yang berhubungan seks di luar nikah. Hubungan seks di luar nikah disebut zina.

Keempat. Sedemikian penting dan mendesakkah pendidikan sexsual consent diberikan pada siswa dan mahasiswa? Apakah mereka sudah mampu memilih dan memilah hak dan kewajiban, patut tidak patut, serta bertanggung jawab penuh atas tindakan yang diambil?

Kelima, Pendidikan sexual consent sangat bertentangan dengan falsafat Negara Indonesia yaitu Pancasila sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”, UUD 1945 pasal 31 ayat 3, “ Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem ppendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam arangkan mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Lebih jauhnya lagi tidak selalras dan sejalan dengan Tujuan Pendidikan Nasional.” Tidak sejalan pula dengan tujuan pendidikan Nasional sebagai mana termaktub dalam UU No 20 tahun 2003 pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Tujuan pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis seta bertanggung jawab.”
Dengan demikian, dalam menyikapi wacana ini, Penulis berpendapat bahwa sexual consent sangat bertentangan dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an, dan terlebih-lebih bertentangan dengan nilai-nilai agama (Islam). Sexual consent bukanlah solusi yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan kejahatan dan kekerasan seksual di lingkungan masyarakat.

Antisipasi yang harus dilakukan oleh para aktivitas perempuan, khususnya PERSISTRI, haruslah menyelamatkan generasi muslim, di antaranya, dengan terus-menerus menjalin jejaring, bekerjasama dengan berbagai pihak yang sehaluan, dan mencari pendukung secara konstitusional dalam penguatan konsep secara legal formal.

Orang Tua dan Pendidikan Seks

Inilah beberapa catatan penulis tentang sexual consent yang bisa diantisipasi oleh keluarga muslim dengan penguatan pendidikan Islam. Orang tua di rumah dan guru guru di sekolah memegang peranan penting, terutama dalam pendidikan. Anak-anak di rumah atau peserta didik di sekolah diberi pendidikan yang umum, juga pada waktunya yang tepat diberi pula pendidikan khusus, berupa pendidikan seks menurut Islam.

Bukankah, santriwan dan santriwati di pesantren PERSIS khususnya, diajari thaharah (bersuci) dari menstruasi (haid), ada doa sebelum berhubungan intim, juga diajari cara mandi janabat (mandi setelah berhubungan intim), dan lain-lain. Penulis yakin, ini adalah bagian dari pendidikan seks Islam. Maka penyusunan buku atau pedoman pendidikan seks Islam jadi penting digarap PERSISTRI.
Secara umum, konsep Islam tentang perempuan dan peran perempuan, tentang rumah tangga, tentang pernikahan, tentang hubungan intim, tentang talak dan rujuk, bahkan tentang lamanya ibu menyusui anaknya sekalipun, diatur dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Hal yang terpokok, seperti penulis sampaikan di atas, bahwa pernikahan itu adalah ibadah. Hubunghan intim atau hubungan seks yang asalnya haram, bisa berubah jadi halal (bahkan wajib) hanya melalui pintu pernikahan atau perkawinan. Allahu `alam. (

(Penulis : mubaligah, sekretaris Bidang Garapan Pendidikan PP PERSISTRI, ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Kabupaten Sumedang (2009-2014 dan 2014-2019), Feminis PERSISTRI, dan dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Sebelas April Sumedang, Jawa Barat).

Pos terkait