Sejatinya Santri Adalah Pejuang

Oleh : Eza Yayang Firdaus

Sebagai Ketua KUMALA PW Rangkasbitung 2020-2021 sekaligus (Santri Alumni Ponpes La-Bayan)

Bacaan Lainnya

Tepat pada tanggal 22 Oktober itu selalu ada fenomena baru di belahan negara Indonesia, yang kini kita sering menyebutnya sebagai Hari Santri Nasional (HSN).

Karakteristik santri nusantara adalah santri yang pejuang. Lihatlah para pahlawan bangsa kebanyakan adalah para santri. Tersebutlah beberapa nama seperti Pangeran Diponegoro yang pernah berguru dan menjadi santri dari Kyai Taptajani yang mengajari ilmu spiritual, sufistik termasuk fiqih pada Bendara (Santri) Raden Mas Antawriya. Demikian pula dengan Panglima sudirman, adalah seorang santri dan seorang guru di sekolah Muhammadiyah. Seorang guru yang menginspirasi sang Jendral besar adalah seorang ulama bernama Kiai Subchi.

Kepadanya-lah Jendral Sudirman meminta nasehat dan do’a sebelum memimpin perang Palagan Ambarawa. Demikian pula tercatatlah pemuda pemberani bernama Bung Tomo, seorang tokoh pahlawan yang melakukan perlawanan terhadap penjajah di Surabaya dan menggerakkan pemuda surabaya dan jawa timur untuk berperang pada tanggal 10 november 1945 setelah mendapatkan restu dari gurunya yaitu KH. Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan ultimatum perang dengan nama Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 dan kemudian mengobarkan perang 4 hari di surabaya setelah itu. Bahkan Bung Karno (Presiden RI Pertama) mengakui bahwa dirinya adalah seorang santri yang belajar kepada Kyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).

Tapi perlu sedikit kita ketahui, ada banyak kejanggalan yang sangat amat mendalam bagi santri seantero pesantren yang ada di Negara Indonesia ini, yang mana di saat para pejabat tinggi atau pemerintahan mulai dari tingkat daerah hingga nasional yang turut dalam merayakan hari ceremonial itu, yang mulai digagas semenjak 73 tahun silam sebagai resolusi jihad Nahdlatul Ulama oleh KH. Hasyim Asy’ari dengan penuh bahagia dan suka cita yang tertuang pada perpres Ir. H. Joko Widodo pada tanggal 15 Oktober lima tahun silam bahwa hari santri nasional ditetapkan pada tanggal 22 Oktober, tapi nyatanya masih banyak santri yang berjuang di dalam penjara sucinya (tempat pemondokan).

Hati kecil mereka mungkin ingin berkata: “Andaikan aku berada di sana pasti aku akan merasakan kebahagiaan yang sama”.

Pada dasarnya santri itu tidak butuh dengan yang namanya perayaan dan legitimasi oleh para pejabat tinggi negara, yang mereka butuhkan hanyalah ridho Allah dan guru semata, tak butuh perayaan yang mewah tapi yang mereka butuhkan adalah kesadaran beribadah bagi setiap warga negara.

Para santri bukan hanya sekedar redaksional saja sebagai orang menuntut ilmu agama di pondok pesantren, tapi lebih dari itu santri memiliki makna filosofis yang amat mendalam dengan keikutsertaannya dalam memerdekakan bangsa dan negara indonesia.

Para santri sering melabeli dirinya sebagai ‘Sun’ yang mana layaknya matahari yang mampu menyinari bumi di dalam gelapnya kehidupan dunia, dan ‘Tree’ yang mana layaknya pohon yang mampu menyejukkan di tengah panasnya pergolakan dan dinamika duniawi.

Oleh karenanya semoga nilai-nilai santri tetap terus tumbuh dijiwa rakyat Indonesia bukan hanya sebatas perayaannya saja agar sesuai dengan semboyan yang digaungkan pada kali ini ‘Bersama Santri Damailah Negeri’.

Pos terkait