Oleh : Dian Wahyudi
Anggota Fraksi PKS DPRD Lebak
Di akhir pekan kali ini, setelah urusan dan keperluan selesai, saya sedikit berkeliling di kecamatan Malingping dan Wanasalam kabupaten Lebak. Membeli buah tangan Leumeung, makanan khas Malingping yang sudah cukup terkenal, berupa beras ketan yang dimasukan ke dalam bambu kemudian dibakar, sayangnya, karena membawa kendaraan roda empat, belanja di pasar Malingping kurang begitu nyaman, karena tidak tersedia tempat parkir yang luas, walhasil kami parkir di pinggir jalan di depan pasar, tidak bisa berlama-lama, mencari berbagai macam buah tangan, padahal ada beberapa pilihan selain leumeung, ada opak manis gurih, gula beureum (merah), dan lain-lain.
Macet dan semraut parkir di pasar Malingping seolah begitu dinikmati warga Malingping, hehe. Dan menjadi seni menikmati berburu buah tangan untuk pengunjung dari luar kota.
Kemudian saya menuju kecamatan Wanasalam, tidak ke Pantai Bagedur atau destinasi wisata lain di Malingping, karena sedang PSBB dan kemungkinan ditutup atau dibatasi.
Saya mencoba menghubungi seorang sahabat di Desa Muara, sugan (mudah-mudahan) terdapat tempat makan siang yang nyaman namun view atau pemandangannya cukup memanjakan mata.
“Saya sedang di pantai Tanjung Panto,” ujar beliau. “Siap, meluncur,” ujar Saya.
Saya sebenarnya sudah dua kali ke pantai Tanjung Panto, terdapat tambatan untuk Perahu Nelayan milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak di pantai tersebut, juga merupakan spot mancing ikan karang menarik saat air pasang di sore hari. Tapi saya agak lupa-lupa ingat belokan jalannya.
Saya mencoba ketik di aplikasi pencarian lokasi, tidak muncul nama Tanjung Panto kabupaten Lebak, yang muncul malah nama Tanjung Panto kabupaten Pandeglang. “Setelah kantor desa Muara, belok kiri, lurus saja,” ujar sahabat saya memberi petunjuk. Ketemu, hanya tulisannya Pantai Binuangeun, sejurus pandangan di plang petunjuk arah, saya tidak begitu memperhatikan gerbang besi bercat dasar putih bertuliskan warna hitam saat saya masuk kelokasi pantai.
Pantai Tanjung Panto Wanasalam, menurut sahabat saya, sebelum pandemi covid-19 merupakan destinasi wisata yang cukup ramai oleh wisatawan pada hari biasa maupun hari liburan. Tempat ini sangat indah dan bisa memberikan sensasi yang berbeda dibandingkan dengan pantai lainnya di kabupaten Lebak. Memiliki pesona keindahan yang sangat menarik untuk dikunjungi.
Semakin memasuki daerah pantai, jalannya ternyata banyak yang berlubang, kudu milihan jalan (harus memilih jalan) menghindari lubang, tidak dalam sih, tapi cukup banyak genangan airnya.
Terdapat beberapa kawasan pantai yang disekat pepohonan, disepanjang pantai, sepertinya sebagai penanda “kepemilikan” kawasan. Di akhir pekan seperti saat itu, cukup ramailah, disaat covid-19, walaupun masih tampak lesu. Saya masuk ke salah satu kawasan sesuai ciri-ciri lokasi keberadaan sahabat saya. Cukup nyaman, walau tampak terdapat beberapa saung kios yang rubuh.
Akhirnya saya bertemu dengan sahabat saya. Sudah lama tidak bertemu langsung, hanya sekedar menyapa di media sosial, senang hari itu bisa bertemu. Sekilas menyapu pandangan, tampak beberapa saung rubuh, sehingga saya langsung bertanya, “eta kunaon saung pada rubuh (itu kenapa saung pada roboh),”. “Semalam ada angin kencang, jadi ambruk. Beberapa malam ini memang hujan deras disertai angin kencang kerap datang,” jawab beliau. Saung yang ambruk sedang tampak diperbaiki, dengan menebang beberapa batang pohon kelapa yang berada disekitar tempat tersebut.
Kami memilih salah satu saung. Angin sepoi-sepoi membuat saya langsung merem melek mata terasa mengantuk, haha…
Jadi saat ditawari kopi, saya langsung nyaut menjawab, pesan kopi pahit, eh ternyata kopi cap kupu-kupu sampai sini juga, keren…
Kontur pantai Tanjung Panto, seperti kata sahabat saya berbeda dengan pantai lain. Ternyata benar, pantainya berupa hamparan karang, seperti kata saya, cukup menantang menjadi spot mancing ikan karang di saat air pasang di sore dan malam hari.
Pengunjung yang datang cukup ramai, kebanyakan anak muda, muda mudi untuk berswafoto di pinggir pantai, mencari sendiri spot foto yang menarik. Saya tidak begitu tertarik untuk berswafoto, saya begitu menikmati suasananya malah.
Saya sedikit bertanya kepada beliau, “ini sebenarnya tanah siapa, disepanjang pantai ini ?,”. “Kebanyakan sudah punya orang Jakarta, dari pantai Bagedur sampai ke pantai Tanjung Panto, terus sampai ke pantai Karang Malang Binuangeun, sudah punya orang luar semuanya,” jawab beliau. “Oh ya,” heran saya. “Hanya tambat ikan saja yang milik Pemkab?,” tanya saya. “Kayaknya,” jawab beliau cepat. “Ini kan sempadan pantai, harusnya dikuasai oleh pemerintah,” tanya saya dalam hati. Jadi kabar bahwa sempadan pantai dikawasan ini sudah dikuasai pihak lain, benar adanya. Apalagi ditambah dengan aktivitas perusahaan tambak udang tidak berizin, di pantai binuangeun yang marak belakangan ini, semakin menambah PR pemkab Lebak.
Hal menarik lain, cukup banyak Bagang (tempat berupa rakitan bambu di tengah laut yang diatur sedemikian rupa menjadi tempat menangkap ikan, dengan lampu dan jaring khusus).
Ada pula Bangkrak, mirip Bagang hanya lebih kecil, fungsinya berbeda, Bangkrak ini untuk menangkap Benur Lobster. Wih..
Namun karena sudah disiapkan ikan bakar, dan sudah tersaji manis siap santap, setelah sholat dzuhur kami makan siang, dengan menu ikan kakap merah dan ikan salem besar, dengan sambel tomat plus kecap. Kami makan berempat, tadinya saya kira gak akan habis, ternyata semua habis lesang (tandas) tak bersisa, hehe….
Bari gogoleran dina amben saung (sambil tiduran di saung) saya ngobrol dengan salahsatu warga yang kebetulan duduk juga dengan kami. Saya penasaran dengan Bangkrak yang tampak berjejer sejauh mata memandang dilaut. Tadi menurut sahabat saya, itu tempat menjaring benur (anak) lobster.
“Jumlah Bangkrak na aya sabaraha eta ka, aya saratus (jumlah Bangkraknya ada berapa itu ka, ada seratus),” tanya saya iseng. “Pernah di itungan, teu ka itung pak (pernah mencoba dihitung, tapi gak kehitung pak, seratus kayaknya lebih, kayaknya malah bisa seribu lebih, sampai ke tengah laut,” jawabnya. “Oh ya,” saya banyak dibuat heran disini. ” Sok beubenangan eta ka (suka dapat itu)?,” tanya saya lagi. “Sekarang sih sedikit, sehari paling hanya dapat 30 ekor, sudah lumayan, sekarang sedang angin barat, agak kurang, hitungan per ekornya rata-rata 8 ribu – 10 ribu, kalau yang mutiara bisa 30 ribu, dipotong operasional lah” ujarnya. “Eh..lumayan ya, 300 rb – 900 rb ya, perhari, ini sedang paceklik,” tukas saya. “Kalau sedang angin bagus, sekitar bulan Agustus sampai Desember, sehari bisa dapat 1.000 ekor lebih,” jawabnya. “Wah.. 10 juta-an. Beneran ?, tanya saya. “Iya pak,” jawab dia. “Tapi ya.. kayak sekarang ini, paceklik, nelayan gak punya uang. Bikin Bangkrak juga lumayan, bisa habis 25 juta untuk merakitnya, lampu-lampu, juga lampu celup, termasuk jangkar. Kadang hilang terhempas gelombang, kalau sampai ke pantai atau ke darat, oleh masyarakat langsung di bongkar, gak tau menahu milik siapa,” cerita beliau.
Ngobrol ngalor ngidul cukup menarik dengan beberapa warga di saung. Termasuk cerita teknis membeli benur. Karena sebenarnya membeli benur lobster menurut regulasi sebenarnya sangat ketat, apalagi benur mutiara, harganya juga cukup pantastis. Nelayan setidaknya harus mengantongi Surat Keterangan Asal Benur (SKAB), dan lain-lain. Serta minimal Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), dan Surat izin Penangkapan Ikan (SIPI) untuk pengepul.
Potensi luarbiasa dari salah satu Pantai di Kabupaten Lebak yang sebenarnya belum terekspos maksimal. Ternyata malah, kawasan ini sempadan pantainya kebanyakan sudah beralih kepemilikan, menjadi milik pihak lain, bukan lagi milik warga apalagi menjadi aset destinasi wisata pemkab Lebak. Semoga baru sebatas isu dan semoga informasi ini salah. Setidaknya ke depan pemkab melakukan cek dan ricek, bahkan jika perlu melakukan langkah-langkah penyelamatan, agar potensi destinasi wisata pantai Tanjung Panto dapat dikelola langsung oleh pemkab Lebak dan OPD/ Dinas terkait.
Potensi benur lobster yang luar biasa, merupakan “harta karun” yang jika tidak diperhatikan ekosistem dan habitat lautnya dengan baik, oleh para nelayan ataupun oleh Pemkab Lebak, bukan hal yang mustahil, ke depan akan menjadi cerita duka bagi anak cucu kita kelak.
Harus disikapi dengan bijak, diberikan kesadaran dan motivasi yang benar, bukan hanya sesuai regulasi, namun juga teknis pengambilan dan tindak lanjut budidaya, karena tidak mungkin Indonesia terus ekspor benur lobster, sementara Indonesia kemudian impor Lobster-nya. Gak lucu ah…
Cukup khawatir, apalagi kewenangan pengelolaan kelautan dan perikanan saat ini menjadi kewenangan Provinsi. Belum ditambah isu (pengolahan) tambang emas bawah laut di pantai Bayah. Semoga laut dan pantai di kabupaten Lebak baik-baik saja, Aamiin.