Solusi Sampah dan Peluang Bisnis Rongsokan

Oleh : Dian Wahyudi
Anggota Fraksi PKS DPRD Lebak

Terkait barang dan bisnis rongsokan, sebenarnya pernah saya tulis dan dimuat di salah satu koran di Banten, edisi Sabtu, 15 September 2018, dengan judul Bisnis Karompongan Sampai Bank Sampah. Bercerita tentang Sangsang yang melakukan usaha tukang karompongan alias tukang rongsokan, beranjak dari bawah, dari mulai keliling membawa karung, mengais rongsokan dari tempat sampah dari rumah ke rumah dengan berjalan kaki, keluar masuk perumahan, sampai tinggal hanya menunggu di rumah atau menjemput ke beberapa lapak kecil barang rongsokan tersebut.

Bacaan Lainnya

Pekerja yang ulet dan jeli melihat peluang, mampu menciptakan pasar sendiri, sangat rajin memilah dan memilih berbagai barang. Jaringannya layak seperti “mafia”, mampu mencari dan mendatangkan barang yang datang entah dari mana, bisa dari perumahan warga, tukang loak, pengepul barang bekas atau kerabat mereka. Berbagai barang ini datang dan pergi sesuka hatinya.

Sebagian orang menilai “limbah” hanyalah barang bekas yang tak ternilai, mungkin bisa dikatakan bernilai walaupun dihargai dengan nilai yang rendah. Namun siapa sangka dari hasil kerja keras serta ketekunannya, mengolah berbagai limbah, membuat jaringan kemitraan kemudian menjual produknya, Rupiah pun didapatnya dari hasil bisnis ini.

Rongsok bukan berarti menjadi sampah dan tidak berguna. Sekalipun, kata rongsok menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya rusak, namun di tangan tukang rongsokan, berbagai barang rongsok tetap memiliki arti dan nilai yang berharga. Mereka tidak menistakan sesuatu yang menurut pandangan umum layak dibuang ke tong sampah.

Di sekitaran Rangkasbitung kabupaten Lebak sebenarnya cukup banyak pelaku bisnis rongsokan. Namun, hari ini, kamis (25/2), saya sengaja bertemu dengan sosok lain di dunia rongsokan. Ku heran-na ieu jalma urang sabrang (saya merasa heran alias aneh, karena sosok nya dari negri sebrang), tepatnya dari Minahasa, Manado, Sulawesi, yang sudah menetap di kabupaten Lebak sejak tahun 2004, dan memulai bisnis rongsokan sejak 2014.

Saya disambut gonggongan anjing, waduh, gak apa-apa kok, sudah jinak ujar beliau. Bukan apa-apa ujar beliau, suka ada yang iseng bawa rongsokan yang sudah siap kirim. Saya diajak berkeliling di lapak rongsokannya, khusus berbagai macam jenis plastik, cukup luas, sekitar 500 meter persegi, di komplek perumahan padat penduduk. Seperti layaknya lapak rongsokan, berbagai barang menumpuk dan berserakan, dari mulai botol plastik berbagai jenis, gelas plastik berbagai merk, helm, paralon, tutup botol plastik, karung, dan seabreg berbagai jenis produk plastik lainnya.

Saya diajak pula melihat mesin pengolah sederhana, berbagai jenis plastik tersebut dipilah dan dicacah menjadi serpihan kecil, sesuai merk, sesuai warna, sesuai jenis bahan plastik, berkarung-karung berjejer menampung hasil serpihan tadi, untuk kemudian dikeringkan. Berbagai jenis serpihan tersebut dihargai berbeda-beda oleh pabrik pengolah plastik.

Saat saya tanya sebulan berapa kali kirim ke pabrik pengolahan, sepekan bisa dua kali pengiriman atau sepekan sekali, sekali kirim minimal dua ton atau empat ton serpihan, bisa kirim jauh lebih banyak dibandingkan jika kita kirim plastik rongsokannya langsung, sementara kebanyakan tukang rongsokan di kita malas melakukan pengolahan atau tidak punya mesin pengolahan, ujar beliau. Itu jadi duit, tanya saya polos. Iyalah, jawabnya.

Sebenarnya, bisnis rongsokan ini tergantung modal, berapapun rongsokan bisa kita kirim ke pabrik, hanya masalahnya ya di permodalan, dan tidak terpengaruh pandemi covid-19. Paling di saat hari raya atau libur nasional saja biasanya permintaan barang agak berkurang.

Peluangnya sangat terbuka lebar, dan merupakan bisnis yang menurut beliau sangat membantu pemerintah dalam mengurangi sampah. Apalagi jika para pelaku bisnis rongsokan ini memiliki berbagai jenis mesin pengolahan. Beliau bercerita, pernah mengumpulkan sampah plastik kresek bekas di pasar pagi Rangkasbitung, dalam dua jam mengumpulkan, hanya dari jalur Leuwiranji sampai toko Wijaya saja, terkumpul satu kwintal lebih plastik kresek, besoknya dikumpulkan lagi, dengan jangkauan lebih luas, didapat hampir dua kwintal plastik kresek bekas. Apalagi di Tempat pembuangan Akhir Dengung, sejauh mata memandang, yang mencolok terlihat ya limbah plastik kresek ini. Sayangnya, kata beliau, beliau tidak memiliki mesin pengolah plastik kresek, padahal bisa diolah menjadi bijih plastik.

Jadi potensi limbah plastik kresek bekas saja cukup besar, dan bisa menghasilkan duit ujar beliau. Potensi ya, tanya saya. Iya, jawab beliau. Sampah atau Limbah saja, yang bagi pemerintah merupakan masalah pelik dan memerlukan solusi cepat, bahkan berbagai diskusi telah dilakukan, namun belum menunjukan hasil yang memuaskan menyelesaikan permasalahan sampah ini.

Bagi beliau, sampah malah merupakan potensi. Sebenarnya cukup banyak potensi dan peluang bisnis dari berbagai jenis limbah plastik, serta menyerap cukup banyak tenaga kerja, dari mulai tukang rongsokan keliling, lapak rongsokan sampai tukang pilah plastik, ujar beliau. Beliau berbicara limbah plastik, karena memang saat ini beliau hanya melakukan pengolahan limbah plastik saja.

Kalau mengutip newsunairacid, ketergantungan manusia pada konsumsi plastik terus meningkat setiap tahunnya. Plastik merupakan material yang ringan, fleksibel, relatif murah, dan tahan lama. Plastik dapat digunakan untuk beberapa tujuan dalam kehidupan sehari hari. Tingkat konsumsi plastik yang cepat di seluruh dunia telah menyebabkan terciptanya peningkatan jumlah limbah dan ini pada gilirannya menimbulkan kesulitan yang lebih besar untuk dibuang. Indonesia menghasilkan sekitar 190.000 ton sampah setiap hari.

Salah satu tantangan terbesar adalah pemanfaatan limbah plastik yang rendah di Indonesia. Indonesia sendiri bertanggung jawab atas 15% limbah plastik global di perairan dunia. Masalah tersebut sangat penting dan menantang bagi sebagian besar negara. Indonesia dapat memainkan peran utama dalam pengelolaan limbah plastik yang efektif dibandingkan dengan negara lain. Dengan demikian, hanya sebagian kecil dari bahan plastik kembali ke proses produksi melalui penggunaan kembali dan praktik daur ulang.

Ada pandangan, cara termudah untuk menghilangkan limbah plastik di masa depan adalah dengan mengurangi atau menghentikan sama sekali membeli produk yang menggunakan plastik. Sepertinya ibarat menabur garam ke dalam lautan.

Sebelum plastik hilang, bisnis rongsokan ini sepertinya menjadi bisnis menarik, atau setidaknya sedikit banyaknya menjadi solusi permasalahan sampah. Saya sih yes !

Pos terkait