Oleh: Dr. (Eng.). Ir. IB Ilham Malik, ST., MT., ATU.
Dosen Program Studi PWK-ITERA
Penataan ruang menjadi persoalan laten di semua daerah. Mengapa ia disebut dengan persoalan laten? Sebab perubahannya secara visual, tidak terasa. Hanya perubahan petak per petak dan dampaknya ada yang langsung berasa, tapi ada juga yang tidak langsung berasa. Tiap bangunan baru muncul, atau ada perubahan bentang lahan baru yang muncul, maka ada yang dampaknya (positif atau negative) bisa langsung berasa dan ada juga yang tidak langsung berasa. Hal inilah yang menyebabkan persoalan tata ruang saya sebut laten karena ia bisa tiba-tiba mengubah keadaan suatu daerah secara dadakan. Ketika kunci-kunci ketahanan ruang menjadi rusak yang kemudian bisa merusak segalanya.
Contohnya ada di Palu ketika terjadi pergerakan tanah yang pada awalnya sama sekali tidak terduga. Alam yang semua hijau karena dipenuhi oleh tanaman dalam berbagai jenis, secara perlahan-lahan berubah menjadi permukiman. Persoalan tata ruang sebenarnya sudah muncul pada fase ini, tetapi tidak langsung terasa begitu saja. Sehingga ketika titik ketahanan lahan terlepas, dan akhirnya mendorong terjadinya “pelepasan” pergerakan lahan, akhirnya persoalan tata ruang muncul karena ia menyebabkan munculnya masalah. Jadi, yang namanya tata ruang memang sesungguhnya berfungsi mengatur fungsi ruang, fungsi tiap petak lahan (tentu dalam skalanya masing-masing), agar dapat terus berfungsi secara berkelanjutan dan memberikan manfaat yang baik. Manfaat ini bisa berupa nilai (value), maupun uang.
Saya melihat, ada banyak penyusunan dokumen tata ruang diberbagai daerah, terutama di daerah yang berstatus kabupaten, tidak mengorientasikan ruang yang mereka miliki dalam koridor logika dan filosofi tata ruang yang benar. Seperti yang kita tahu dalam penataan ruang, prinsip dasarnya adalah penataan ruang yang berkelanjutan dan berkeadilan. Siapapun bisa mengajukan usulan untuk memfungsikan suatu ruang menjadi ruang dengan fungsi apapun saja, tetapi apakah itu sesuai dengan perilaku alam ataukah tidak, inilah yang harus terkonfirmasi dalam berbagai dokumen kajia pendukung lainnya.
Sayangnya, dokumen tata ruang saat ini banyak disusun dengan nilai “rasa-rasanya” saja. Tidak berbasis pada kajian pendukung lainnya yang sangat krusial dalam penentuan fungsi suatu ruang tertentu. Misalnya, jika suatu daerah menentukan daerah tersebut difungsikan sebagai lahan pertanian dan perkebunan, maka seharusnya berbasis pada pengetahuan soal kondisi topografi lahan dan kesuburannya. Termasuk juga apakah lahan tersebut berharga mahal atau tidak. Juga bagaimana dengan peluang keinginan warga setempat untuk bertani, ataukah mereka punya kecenderungan ber-usaha yang lainnya? Termasuk juga, bagaimana dengan pola rantai pasok yang nantinya bisa berkembang disana, ataukah akan sulit dijalankan?
Juga, ini yang sederhana tapi jarang sekali dijadikan pijakan dalam perencanaan yaitu penggunaan logika soal teori lokasi yang dikenakan pada suatu fungsi lahan tertentu, apakah relevan diterapkan di lahan tersebut fungsi lahan itu ataukah tidak?
Saya memaklumi jika banyak dokumen tata ruang di berbagai daerah tidak begitu berpijak pada pemahaman ruang yang sesungguhnya. Ini juga bukan soal keterbatasan ketersediaan para ahli perencanaan ruang, tetapi juga ini berkaitan dengan kualitas dari perencana itu sendiri. Karena seperti yang kita ketahui bahwa yang namanya ahli harusnya memiliki wawasan yang cukup memadai, basis informasi yang juga cukup kuat, dan juga kesediaan untuk membuka diri dari setiap masukan, gagasan dan bahkan tantangan baru, yang muncul kapanpun dan dari manapun. Karena itu, adalah sangat penting untuk terus menerus menyempurnakan dokumen tata ruang yang ada di setiap daerah.
Walaupun evaluasi ini harusnya dilakukan secara ketat oleh Bappenas atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Termasuk juga oleh Kementerian PUPR. Berbagai pihak harusnya bisa memberikan penilaian sesuai dengan pedoman kelayakan penyusunan dokumen tata ruang. Tetapi tentu sangatlah penting juga agar “para penilai” ini tidak berubah-ubah komposisi nama orangnya. Jadi by-name, bukan by-institusi. Jadi para penilai ini diberi kuasa untuk menjadi penilai tetap selama 2-3 tahun, lalu diganti lagi agar dapat menjadi panitia yang memang kapabel. Saya kira, soal ini bisa disusun kedepannya.
Kembali ke masalah penentuan fungsi ruang, hal yang juga menjadi patokan adalah soal struktur dan pola ruang. Struktur ruang meliputi dimana daerah permukiman dan mana daerah non-permukiman yang nantinya dilengkapi dengan sarana dan prasarananya. Kalau bicara tentang pola ruang maka kita menentukan mana Kawasan Lindung dan mana Kawasan Budidaya. Kawasan permukiman yang sudah ada dan dimana seharusnya berada, harus ditetapkan dan dirancang skenarionya agar setiap permukiman berada pada tempatnya. Inilah kenapa ada program pembangunan perumahan yang dibiayai oleh pemerintah, bukan saja soal adanya kekurangan dalam penyediaan lahan dan bangunan, akan tetapi juga berkaitan dengan penempatan lahan permukiman yang seharusnya berada pada tempatnya.
Kalau bicara pola ruang, harus dilihat mana daerah yang rawan bencana alam bagi permukiman atau bangunan / kegiatan komersial lainnya, hendaknya masuk dalam Kawasan Lindung. Kawasan lindung adalah suatu kawasan dengan fungsi tidak boleh ada kegiatan apapun didalamnya. Wisata, industri atau permukiman kecil sekalipun. Semua Kawasan Lindung tidak boleh ada aktivitas didalamnya. Dan ini sebaliknya pada Kawasan Budidaya, di kawasan ini boleh ada kegiatan apapun. Tetapi, didalam Kawasan Budidaya ini harus diatur struktur ruangnya agar tidak terjadi benturan fungsi area tertentu yang bisa menimbulkan masalah baru. Disinilah perlunya penentuan atau pengaturan zonasi.
Penataan ruang yang dilakukan diberbagai daerah pada saat ini adalah hasil pembelajaran pada ruang-ruang wilayah lain yang berhasil mewujudkan tata guna lahan yang memberikan rasa aman dan nyaman pada warganya. Tentu saja ini akan membawa pada kondisi yang berkelanjutan. Itulah sebabnya semua pihak harus memiliki pemahaman yang baik dari hasil pembelajaran yang pernah dibuat, yang kemudian diformulasikan hingga akhirnya kini menjadi ilmu pengetahuan tentang tata ruang yang bisa diaplikasikan diberbagai tempat. Tentu, dengan menerapkan pendekatan-pendekatan yang konstekstual dengan kondisi daerah setempat.
Pertanyaannya, bagaimana jika suatu perencanaan tata ruang menimbulkan polemik dan bahkan penolakan dari beberapa pihak? Disinilah tanggung jawab pengetahuan dari para perencana dokumen tersebut dipertanyakan. Mereka harus ditanya, bagaimana cara mereka menyusun dokumen tata ruang tersebut? Syarat dan ketentuan dalam menentukan fungsi Kawasan, menentukan struktur dan pola ruangnya seperti itu, apa dasarnya dan bagaimana SWOT-nya? Jika kita sudah mendapatkan penjelasan yang baik dan bisa dipahami dan dipertanggungjawabkan, maka tidak ada yang salah dengan rencana tersebut. Jika rencana tersebut memang ada yang kurang relevan, dan memang tidak melalui proses yang benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, maka tidak ada salahnya untuk diubah. Disesuaikan ulang saja sehingga penataan ruang dapat diterima oleh warganya. Memberikan kebahagiaan dan keyakinan akan masa depan yang lebih baik.
Kesimpulannya apa? Setiap perencana yang berada di level pemerintah dan swasta, harus mengabdikan dirinya untuk menciptakan masa depan daerahnya menjadi lebih baik dan tepat berada di jalurnya. Benar secara filosofis, secara visi dan secara administrasi. Sekarang, kebanyakan pemda memiliki dokumen yang benar secara administrasi. Dua hal lainnya, masih jadi pekerjaan rumah yang sangat serius.