Mereka tertawa, lari berkejaran, dalam sebuah ruangan luas di area pengungsian korban musibah banjir bandang Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Kamis pagi (02/01/20).
Ketika mereka mau makan, atau mau minum, sangat mudah mereka dapatkan dari relawan yang setia mendampingi para pengungsi. Anak-anak seperti mendapatkan pegalaman baru, lingkungan baru, rumah besar baru. Makanan dan minuman melimpah dari dermawan yang keluar masuk pengungsian.
Anak-anak hanya tahu dibawa orang tuanya, dan tak tahu sama sekali dunia di luar areal pengungsian. Mereka tak memahami akibat banjir bandang : jembatan yang kokoh jebol, puluhan rumah hancur, dan tentang mayat yang ditemukan di tengah derasnya air keruh Sungai Ciberang. Anak-anak tak tahu pula, bahwa orang tua mereka sedang bimbang : rumah sudah habis disapu bersih banjir bandang.
Saat saya sedang memotret anak-anak yang sedang bermain-main, tiba-tiba seorang perempuan menatap saya, dengan pandangan sayu. “Pak, kami minta kain mukena dan sajadah,” katanya, dan kedua bola matanya berkaca-kaca. Saya terhenyak, tersentak, mengapa hanya ingat kebutuhan jasmani saja, seperti beras, dalam rapat, sesaat sebelum berangkat ke lokasi musibah.
Salat seperti lebih mereka butuhkan kini : sebagai pengabdian (ibadah), sekaligus pengaduan kepada-Nya saat mereka kehilangan tempat berteduh.
Anak-anak tetap bermain-main dalam areal pengungsian yang luas, bisa tiduran, juga tidur pulas dalam sedih dan doa orang tua mereka. (Laporan Dean Al-Gamereau dari Sajira).