Antara Korona dan Komoditas Pendidikan

Topan Aribowo Soesanto.
Literasi Sisi

Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam membentuk suatu peradaban. Seluruh potensi budi daya di kerahkan untuk memberikan pintu pencerahan bagi manusia di jagat bumi ini. Sebagai salah satu amanat negara dalam melayani fitrah intelektual warga negaranya. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan bernegara sesuai UUD 1945 merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pendidikan hari ini tentu berbeda, terlebih di masa pandemi yang belum berujung kasusnya. Berubah drastis itu yang di rasakan dalam skema sistem dunia pendidikan. Digitalisasi, Teknologi serta sumberdaya yang cerdas menjadi pertaruhan untuk bisa melayani hak anak untuk belajar. Rasanya kurang jika tidak Mengutip tokoh pendidikan yang sangat berpengaruh, catatan Ki Hajar Dewantara. Pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bermaksud memberikan bimbingan dalam tumbuhnya jiwa raga anak didik agar dalam garis-garis kodrat pribadinya. Pandemi tentu ini beribas di segala sektor tidak terkecuali pendidikan. Skala prioritas menjadi tantangan tersendiri bagi pemangku kebijakan dalam memutuskan sekaligus mencetak putra – putri terbaik bangsa. Pendidikan merupakan akar dari peradaban maju manusia yang merubah budi, daya serta kecerdasan bukan lagi bongkahan batu purbakala, yang merubah hitungan 1+1= 2
Pendidikanlah yang merubah pola gerak serta tata laku manusia menjadi lebih dewasa melalui upaya pembelajaran, pengajaran serta pelatihan dalam kehidupan sehari-hari.

Bacaan Lainnya

Pandemi bukan saja berdampak pada sektor ekonomi yang terus memaksa untuk berpikir keras, banyak pengurangan minim pemasukan. Terlebih untuk sekolah swasta yang menjadi target dari revisi kebijakan ini. Kebijakan yang semestinya bisa merangkul semua stakeholder pendukung pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan untuk bisa bersinergi dengan sekolah – sekolah swasta, bukan sebaliknya. Dimana secara anggaran harus jatuh dan bangun agar semua bisa stabil tegak berdiri. Sektor industri menjadi andalan kini sebaliknya harus memutar otak agar roda terus berputar stabil, maksimal serta tanpa tawar menawar walaupun hanya sekedar menyambung nafas agar tetap hidup untuk keesokan harinya. Segala cara pun dilakukan agar tidak terjadi penurunan.
Angka nominal menjadi primadona di semua sektor, negara seperti tidak berdaya dengan pertarungan ekonomi global terlebih dampak pandemi di seluruh dunia. Beberapa hari ini kita sedang di ramaikan kembali dengan kebijakan pemerintah yang seolah asal teken tanpa melihat kembali kebawah, sulitnya ekonomi kini menjadi bagian dari cerita lain dari kasus dan kesiapan satgas Covid 19 yang masih terus begerak. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pendidikan (baca= Sekolah) sampai sembako yang tertuang di dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). menjadi celah untuk mendongkrak pendapatan baru bagi negara Seolah kepentingan ekonomi mendominasi hari – hari ini di dunia pendidikan, tidak ada lagi tekanan pasar untuk sebuah ilmu dan pengetahuan serta nilai pendidikan yang berlandaskan kepentingan kelompok kapitalis. Pendidikan menjadi barang dagangan atau niaga yang seharusnya menjadi mitra perubahan serta mitra pembaharu untuk kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan sebagai simbol kearifan lokal bangsa semestinya menjadi perhatian penting. Berapa banyak sekolah yang masih butuh perhatian dari semua sisi, baik secara sarana dan prasarana maupun perlakuan lainnya.
Seperti di kutip dari Tribun News.com Pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia. Dalam bukunya, Pendidikan Yang Memiskinkan (2004, Galang Press), Darmaningtyas menuliskan, “Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik”. Dari kedua filosofi pendidikan yang dituliskan di atas, sudah cukup jelas bahwa pendidikan adalah salahsatu kebutuhan primer dalam hampir semua sendi kehidupan manusia. Mengingat betapa pentingnya peran pendidikan bagi kelangsungan hidup manusia, sewajarnyalah jika pendidikan menjadi hajat hidup orang banyak. Dengan begitu, perlu adanya upaya perbaikan sistem pendidikan yang ada sekarang dan internalisasi kesadaran bahwa pendidikan bukanlah komoditas bisnis. Otak dan Perut yang tertuang dalam narasi Pendidikan dan Sembako merupakan bagian krusial untuk yang tidak bisa lepas dari bangsa ini. Kebutuhan pendidikan, ketahanan pangan ekonomi menjadi perhatian yang seharusnya bisa di akomodir dalam setiap kebijakan pemerintah. Memang betul negara ini sedang membutuhkan banyak anggaran tetapi bukan dengan segala cara di lakukan tanpa dasar keadilan. Lebih kepada melihat kebutuhan pokok yang sangat mendasar pro kepada kepentingan rakyat Indonesia mungkin kebijakan itulah yang bisa membuat rakyat Indonesia tidur pulas, bukan sebaliknya harus teriak dan turun ke jalan hanya untuk menyuarakan kegundahannya, yang sebenarnya bisa di bicarakan bersama duduk bareng sesuai hukum berkenagraaan yaitu musyawarah untuk mufakat yang hari ini sepertinya sangat jauh sekali seperti pangang jauh dari apinya. Gaduh satu kebijakan dengan kebijakan lain masih tumpang tindih.
Belum dengan kebijakan penanganan Covid, korupsi dana bansos efek dari corona itu sendiri yang sampai saat ini belum berujung tuntas serta kasus birokrasi lainnya. Tata budi perkerti hasil pendidikan hari ini luluh lantah oleh rakusnya kekuasaan, glamoritas serta ketidakadilan. Bukan tidak mungkin jika ranah ini minim perhatian bahkan di kapitalisasi berujung pada kualitas pendidikan itu yang pada akhirnya tiada nilai. Ketimpangan sosial, strata bisa terjadi jika hal itu di biarkan dalam dunia pendidikan. Masuknya sektor Pendidikan dalam Undang- undang Cipta Kerja memungkinnya pendidikan menjadi ajang bisnis. Seperti yang tertera dalam pasal 65 ayat 1 disebutkan, perizinan pada sektor pendidikan dapat di lakukan melalui perizinan berusaha. Ini berindikasi pendikan sebagai komoditas karena sebagai legalitas badan usaha. Ramai, menjadi topik trending para kaum marjinal di warung kopi, di ruang guru bahkan di sepanjang jalan selepas pulang kerja. Seolah tempat – tempat itu menjadi tempat curhatan rakyatnya yang hanya bisa bernada sumbang tanpa sambutan merdu dari pemerintah. Indonesia itu indah banyak hal yang bisa kita lakukan selain membolak – balikan dari sebuah undang – undang, ketok palu, bergeliat sedikit lalu di revisi yang itu pun tanpa mendengar aspirasi dari ‘’penikmat’ hasil kebijakan itu sendiri. Jangan terbiasa menetapkan kebijakan di tengah malam di saat rakyatnya lelah seharian berjibaku mempertahankan hidupnya, yang berujung merugikan rakyat. Setidaknya membuat mata dan telinga teduh dan tenang dengan menggali ide – ide kreatif dan produktif. Jangan lagi terbebani oleh ego intelektual serta kapitalis semata. Pandemi belum usai sampai kapan, kita belum tahu, banyak yang harus kita benahi baik secara anggaran serta infrastruktur lainnya. Lebih baik kita fokus membenahi pandemi Covid 19 ini dengan penuh kesungguhan dan komitmen untuk tetap bisa melayani dan mengayomi rakyatnya. Ketimbang melemparkan kebijakan yang masih penuh perdebatan yang pada akhirnya menurunkan imunitas itu sendiri.

Semoga ini bisa di dengar sekaligus menjadi perhatian pemerintah dalam mengambil setiap kebijakan. Dengar, rasakan dan resapi sebelum ketok palu agar setiap kebijakan sesuai dengan realita, jiwa serta kearifan lokal rakyat Indonesia serta senantiasa di berikan kekuatan, kesehatan untuk kita semua. Aamiin.*

Pos terkait