Dari Kairo ke Cianjur Separuh Nyawaku, Setengah Jantungku Telah Pergi

In Memorian Ustaz Rohmat Hudaya, Lc. (2)

Apa yang harus mereka katakan ketika bertemu, suatu sore menjelang senja, di halaman rumah, dan di bawah tatapan teman-teman Indonesia yang mulai buram dengan air mata? Eva Choiriyah dan Rohmat Hudaya berpelukan, cukup lama, penuh tetesan air mata, tetapi tanpa kata-kata yang terucap dari bibir dingin dan beku mereka. Inilah pelukan kedua di ruang terbuka setelah pelukan pertama yang penuh kata-kata, penuh cinta dan rindu, di Bandara Internasional Kairo, tempo hari 10-an tahun yang lewat.

Bacaan Lainnya

Suami istri yang sebelumnya sama-sama dirawat di rumah sakit yang berbeda, tetapi masih di Kota Kairo, Republik Arab Mesir, itu seakan sudah saling mengetahui isi hati dari tatapan jendela mata dan pelukan erat mereka. “Saya tak berkata apa pun, Rohmat juga. Desah nafas seperti mewakili seisi rongga dada kami berdua,” kata Eva, yang menyambut kedatangan sang suami dengan senyuman, di pintu halaman rumah itu, tetapi kemudian segera berubah jadi tangisan.

Dalam pelukan mereka, yang tanpa kata-kata itu, semua seperti sudah terungkap, sudah saling mengetahui yang tersimpan di hati masing-masing. Mereka sudah tahu dari orang lain, tetapi secara diam-diam. Pelukan mereka yang cukup lama, di halaman rumah itu, dan menguras air mata itu, seperti menyatukan dua hati untuk menghadapi cobaan hidup.

“Kami sedang prihatin, didera cobaan, dan dituntut sabar yang lebih dari biasanya,” kata Eva kemudian. Eva melihat, saat menjemput sang suami di pintu halaman rumah itu, badannya kurus dan perutnya buncit. “Padahal sebelumnya, tubuh suami saya padat dan berisi,” kata Eva lagi.

Eva melahirkan anak keenam, 25 Maret 2021, di Rumah Sakit Ainsyam, Damardas, dan namanya sudah disiapkan sebelumnya : Muhammad Ghaisan El-Basyir. Tetapi, Ghaisan hanya berumur empat hari, meninggal dalam dekapan sang bunda, dalam taksi, saat dilarikan ke Rumah Sakit Roxy Mesir. Eva kemudian tahu, berdasarkan hasil pemeriksaan, Ghaisan meninggal karena tersedak air susu ibu (ASI). Rohmat yang sedang berbaring di Air Force Hospital (Rumah Sakit Angkatan Udara), Kairo, sama sekali tak diberi tahu. Eva merahasiakan musibah ini karena khawatir jadi beban pikiran sang suami. Eva pun merahasiakan darah tiggi dan diabet yang dideritanya saat-saat melahirkan. Ghaisan lahir lewat operasi sesar.

Rohmat pun ternyata sama, merahasiakan penyakit kanker hati stadium 4 yang dideritanya. Sang istri tak boleh tahu, seperti diamanatkan kepada teman-temannya. Cukuplah sang suami diketahui menderita penyakit perut kembung saja. Sama seperti niat baik sang istri, Rohmat pun tak ingin menambah beban pikiran istrinya yang memang sedang dirawat pula di rumah sakit sebelum melahirkan.

Kanker Hati dan “Buah Hati”
Matahari di Kota Kairo sudah kembali ke balik malam. Eva dan Rohmat, yang sebetulnya masih sama-sama sakit, barulah bisa berbicara. Mengungkap perasaan masing-masing dalam selimut legamnya malam di kamar tidur mereka. Apakah air mata menetes lagi ketika malam semakin larut ini?

Benar! Keduanya mengungkapkan isi hati dan perhatian masing-masing, membayangkan saat berbaring di rumah sakit, saat-saat menahan rasa sakit, dan saat-saat betapa belaian seorang suami, atau tatapan mata seorang istri, sebenarnya adalah obat mujarab yang tak akan pernah ditemukan di apotik manapun.

Eva dan Rohmat saling mendengarkan tentang penyakit kanker hati stadium 4 dan tentang kematian “buah hati” mereka : Muhammad Ghaisan El Basyir. “Malaikat kecil” yang keenam itu lahir hanya untuk hidup selama empat hari saja : 25 – 28 Maret 2021. Sang ayah tak pernah tahu, Ghaisan seganteng siapa.

Pada malam itu terungkap pula. Ternyata, mereka saling memperhatikan dalam diam, saling menyapa dalam doa. Rohmat dan Eva ingin lebih dekat saat-saat menahan rasa sakit. Eva mengaku, malam itu sebetulnya ingin sekali dibelai lembut sang suami, diberi apresiasi karena sudah berjuang sekuat tenaga menyelamatkan si “Buah Hati” Ghaisan, meski kemudian gagal.

Tetapi, Eva maklum, belahan jiwanya itu memang sedang berjuang melawan penyakit. Eva hanya melihat perhatian dari tatapan kedua bola matanya yang lembab. Malam itu malam pengungkapan adanya perhatian, cinta dan rindu yang tak berujung, seperti sumur tanpa dasar. “Ya, Allah, ternyata tak ada lagi malam seperti ini,” kata Eva kemudian. “Malam itu seperti jadi malam pamitan suami saya di tengah-tengah cinta dan rindu kami berdua,” kata Eva pula.

Eva dan Rohmat tak saling menyalahkan, tetapi saling memahami. Perkara yang langka dari sepasang suami istri, boleh jadi, masing-masing pandai menyembunyikan penderitaan masing-masing, meski kemudian harus diungkapkan pada waktunya.

Malam itu, bagi mereka berdua, seperti malam konfirmasi dan verifikasi saja. Kanker hati stadium 4 dan “buah” hati” yang hanya sebentar di pangkuan bunda jadi bukti tentang adanya cobaan. Ikatan suami dan istri terasa semakin kuat ketika dibalut dengan cobaan dan penderitaan.

Mereka pun berpikir dan berzikir tentang kehidupan, tentang cobaan, juga tentang masa depan anak-anak. Malam itu sungguh malam renungan, malam zikir dan pikir. Eva dan Rohmat seperti sedang naik ke langit tinggi untuk sebuah permohonan hanya kepada-Nya.

Pulang untuk Pulang
Tak ada yang mengira, Rohmat pulang ke Indonesia hanya untuk meninggal dunia di sebuah rumah kontrakan, di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur (Jawa Barat). Sebuah rumah memang dikontrak di sini untuk mempermudah pengobatan, di Bukit Cianjur Recidence. Rohmat kemudian dimakamkan di Kabupaten Ciamis (Jawa Barat), tempat Allaahu Yarham dilahirkan dan dibesarkan.

Eva tak menyangka semua itu karena memang perkara gaib. Eva sama sekali tak mengira sebelumnya, ajakan pulang ke Indonesia itu akhirnya jadi kenyataan sang suami pulang kepada-Nya. Pulang untuk pulang kepada-Nya. Semula, pulang ke Indonesia hanya untuk berobat, lalu akan kembali lagi ke Kairo.

Tahlil, Detik-Detik Akhir Hayat
Eva merasa lega sebetulnya di tengah-tengah beban berat menerima musibah : bisa talqiin (menuntun ucapan laa ilaaha illallaah, tiada tuhan kecuali Allah) untuk sang suami, persis di dekat telinganya. Terdengar, meski agak samar, tampak bibir sang suami bergerak perlahan mengucapkan kalimat tahlil laa ilaaha illallaah.

Eva mengaku tak puas kalau sang suami hanya mengucapkan tahlil sekali saja. Ingin terucapkan berulang-ulang, ingin terucap dalam pelukannya, sampai detik-detik akhir hayatnya. Eva pun terus mengajak talqiin, terus semakin dekat ke telinganya, sekali lagi ingin memeluknya lebih erat, penuh cinta dan luapan kasih sayang, agar laa ilaaha illaah jadi kalimat terakhir sang suami yang telah mengajarinya jadi perempuan tangguh.

Eva terus talqiin, tetapi keluarga yang hadir telah menutup muka Rohmat dengan kain. Tangis Eva pun meledak. Ternyata, nyawa sang suami sudah dijemput Malaikat, Senin dinihari sekitar pukul 03.30 WIB, dan sekaligus menyusul Ghaisan yang belum pernah disapanya. Separuh nyawaku, setengah jantungku telah pergi, diantar bibir yang bergetar dengan zikir (tahlil). “Detik-detik terakhir yang menyentuh saat sang suami terdengar mengucapkan tahlil,” kata Eva, sendu.

Sang fajar segera tiba. Embun pagi sudah jatuh ke bumi. Inilah babak baru hidupku, harus tetap semangat, seperti sinar sang surya yang hangat saat memancar pada pagi hari. Kini, ampuni aku, ya Allah, ketika sejenak harus memelas, ketika harus menatap masa depan anak-anak dibalik tirai huja air mata…(Dean Al-Gamereau).

Pos terkait