Menyambut Hari Pers Nasional Tahun 2020 di Banjarmasin Pesan Al-Qur’an Untuk Wartawan

(Bagian Kesatu dari Empat  Tulisan)

Oleh

Bacaan Lainnya

Dean Al-Gamereau

Akhlak dan Sopan Santun
Kitab Suci Al-Qur’an surat Al-Hujuraat berbicara tentang komunikasi dan informasi. Beberapa ayat pertama menunjukkan adanya perintah etika berkomunikasi. Al-Qur’an surat Al-Hujuraat diturunkan untuk semua orang, tetapi terasa seakan-akan diturunkan untuk wartawan.

Entah sengaja atau tak sengaja, ajaran surat Al-Hujuraat mewarnai kode etik jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ PWI) yang dirumuskan kali pertama setahun setelah kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), di Solo, 9 Februari 1946.

Surat Al-Hujuraat sarat dengan ajaran akhlak dan sopan santun, terutama sangat penting untuk wartawan. Muhammad Aly Ash-shaabuuny dalam tafsirnya, Rawaai’u ‘l-bayaani fii aayaati ahkaami ‘l-quraani, menamai surat Al-Hujuraat ini dengan suuratu ‘l-akhlaaqi wa ‘l-adabi, artinya, surat Akhlak dan Sopan Santun.

Ajaran akhlak dan sopan santun dalam surat Al-Hujuraat itu meliputi akhlak terhadap Allah S.W.T., akhlak terhadap Rasulullah S.A.W., akhlak terhadap sesama mukmin, dan akhlak terhadap sesama manusia.

Surat Al-Hujuraat terdiri dari 18 ayat. Orang mukmin dipanggil sampai lima kali dalam surat itu, dengan panggilaan wahai orang yang beriman, lalu diikuti dengan ajaran akhlak dan sopan santun – yang ternyata berkaitan pula dengan profesi wartawan. Al-Qur’an berisi ayat-ayat tentang akidah, ibadah, dan akhlak. Surat Al-Hujuraat ini sepenuhnya berisi akhlak, dsna oleh karena itu disebut surat akhlak atau surat sopan santun

Kode Etik Jurnalistik
Pesan surat Al-Hujuraat, khusus yang berkaitan langsung dengan profesi wartawan, terutama dengan kode etik jurnalistik, antara lain, penghormatan terhadap wilayah pribadi seseorang (ayat 4), harus melakukan check and recheck ketika menerima berita (ayat 6), tak boleh merendahkan atau menghina orang lain (ayat 11), harus menjauhi prasangka (ayat 12), tak boleh mencari-cari kesalahan orang lain (ayat 12), dan tak boleh menggunjing (ayat 12). Mahkota ayat yang sangat erat kaitannya dengan profesi wartawan adalah ayat 6 yang berbicara langsung mengenai berita dan check and recheck.

Mengapa surat yang seakan-akan diturunkan untuk wartawan itu dinamai Al-Hujuraat? Menurut riwayat, seperti ditulis Al Qur’an dan Terjemahannya, seseorang memanggil-manggil Nabi Muhammad S.A.W., padahal Nabi sedang berada di rumahnya, di kamarnya, dengan istrinya.

Nabi Muhammad S.A.W., meski memang seorang rasul yang ditugasi melayani umat, tetap saja punya hak privasi, hak saat-saat memasuki wilayah pribadi yang tak boleh diganggu siapa pun. Oleh karena itu, orang yang memanggil-manggil Nabi Muhammad S.A.W. tersebut ditegur Allah S.W.T. karena dinilai tak santun.

Hujuraatun, jamak dari hujratun, artinya, kamar-kamar. Maka, surat ke-49 ini, kemudian dinamai Al-Hujuraat, artinya, kamar-kamar, diadopsi dari ayat 4 surat Al-Hujuraat itu.

“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu), kebanyakan mereka tak mengerti”. Maka, sehubungan dengan profesi wartawan, saya ingin menamai surat Al-Hujuraat ini dengan nama lain, “Jurnalisme Damai” sebagai representasi ajaran “Al-Hujuraat’ untuk wartawan dan ilmu kewartawanan.

Nabi Muhammad S.A.W., dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, boleh pula disebut figur publik (public figure) karena membuat keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik, kepentingan umum. Meski begitu, Nabi memiliki wilayah pribadi, sehingga ketika ada yang mengganggu wilayah pribadinya itu, kemudian ditegur oleh Allah S.W.T.

Wartawan yang saleh, tentu saja, akan sangat menghormati hak-hak wilayah pribadi itu, siapa pun, akan bertindak profesional dan proporsional menempatkan seseorang sebagai sumber berita atau bahan cerita. Wartawan yang saleh tak akan sampai hati mengganggu atau mencederai harga diri seseorang.

Itulah sebabnya, PWI memasukkan wilayah pribadi itu ke dalam kode etik jurnalistik (KEJ PWI). “Wartawan menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum” (Pasal 6, Bab II, KEJ PWI).

Jurnalisme Wilayah Pribadi
Seiring dengan maraknya program-program televisi khususnya, lahir jurnalisme yang dinilai lebih banyak memasuki wilayah pribadi. Menu utama beritanya, semisal kawin cerai, perselingkuhan, gosip, pisah ranjang, berebut anak, berebut suami, berebut harta, dan lain-lain.

Banyak artis yang mengeluh karena ulah wartawan yang dinilai mengintip urusan pribadi atau terlalu jauh “membongkar-bongkar” aib. Wartawannya berkilah, karena artis yang bersangkutan, antara lain, figur publik yang gerak langkahnya selalu menjadi perhatian, selalu jadi menjadi berita.

Kaum selebritas, demikian sejumlah wartawan berkilah, dituntut jadi panutan. Kebohongan artis, meski di ranah pribadi, bisa digolongkan pada pembohongan terhadap publik karena tingkah lakunya dinilai merugikan konsumen. Mereka tak boleh berbohong karena dinilai sebagai figur publik. Sosok mereka sebagai panutan, sehingga, kalau ketahuan berbohong, maka jadilah berita. (Bersambung ke bagian kedua).

Pos terkait